Sabtu, 25 September 2010

DIGITAL DIALOG

DIALOG DIGITAL

Apa beda pembicara dan penulis?
Sederhananya, pekerjaan seorang penulis adalah membahasakan ide dan pikiran berbentuk text, sedangkan seorang pembicara menggunakan mulut untuk membahasakan ide dan  pikirannya.  Walaupun keduanya bertujuan membahasakan ide dan pikiran, mereka sesungguhnya berbeda, penulis tidak sama dengan pembicara. Tetapi kemudian seorang penulis bisa menjadi pembicara dan sebaliknya seorang pembicara menjadi penulis merupakan perkembangan normal yang pada hakekatnya semua manusia diberi talenta untuk berkomunikasi, entah melalui text ataupun audio. Kegagalan berkomunikasi acapkali disebabkan salah menggunakan alat dan metode komunikasi.  Informasi yang harusnya disampaikan dengan media audio malah menggunakan kertas atau bahan cetak lainnya. Sebaliknya informasi yang harus disampaikan tekstual malah dilakukan dengan bisik-bisik. Herannya dalam beberapa hal komunikasi bisik-bisik seringkali lebih sukses daripada tekstual, bukan saja karena informasi echoic lebih mudah dan lama dalam ingatan otak tetapi juga biaya produksi info via tekstual lebih mahal dan banyak melibatkan saraf dan otot mata. Fungsi luhur otak juga menempatkan dan membedakan tempat dan cara kerja otak sewaktu berbicara ataupun menulis.

Di jadwal rutin senin sore, Saya dan Bevy pernah membahas tentang  bagaimana menjadi pembicara yang baik dan efisien, dari salah satu pemenang Blog Award yang diinisiasi Internetsehat.org. Mengapa topik ini diangkat? Apakah pembicara dan penyiar kekurangan ketrampilan untuk berkata-kata? Tentu bukan itu maksud kami, sebab yang ingin diangkat adalah bagaimana ketrampilan berkomunikasi dapat dibagi kepada pendengar dan darinya mereka dapat diberdayakan. Sesungguhnya Smart Digital Life Style Radio Talk adalah Digital Dialog untuk membangun komunitas yang saling memberdayakan, dalam bahasa lain disebut komunitas Tumoutou. Mari kita lihat`pendapat Frank M Garafola sebagai berikut: Perbedaan antara orang pintar dan orang bijaksana adalah orang pintar tahu apa yang harus dikatakan, sementara orang bijaksana tahu perlu atau tidak kalimat tersebut dikatakan.

Dalam upaya menambah ketrampilan berkata-kata, Menurut pendiri sekolah TALK-inc, Sriewijono, Tumewu, & Parengkuan (2008), ada tiga alasan yang menjelaskan penyebab seringnya kata-kata tanpa makna tersebut kita ucapkan. Pertama, sebagian besar orang berbicara tanpa berpikir. Kata-kata spontan ini seringkali muncul apabila tidak tersedia waktu untuk berpikir, atau karena sedang tidak terpikir apa yang akan dibicarakan. Misalnya ketika seorang pembicara yang tiba-tiba ditanya oleh pendengar atau ketika pertanyaan dari pendengar cukup menyulitkannya. Kedua, sebagian besar orang berbicara hanya dari sudut pandangnya. Terkadang seorang pembicara lupa bahwa pendengarnya tidak memiliki sudut pandang dan kerangka berpikir yang sama. Misalnya pembicara lupa bahwa pendengarnya belum tentu memiliki pengetahuan dasar yang sama dengannya. Sehingga, pembicara sering menggunakan kata “ya begitu” tanpa menjelaskan apa makna “begitu” yang dia maksud. Ketiga, sebagian besar orang berbicara tanpa memperhatikan dampaknya. Banyak orang yang tidak mempertimbangkan akibat dari kata-kata yang dikeluarkannya. Seperti misalnya pernyataan “kasian deh lo” seperti sudah tidak jelas tujuannya. Apakah kalimat ini untuk menyatakan empati atau sedang mengejek. Sayangnya, banyak orang yang berkomentar seperti itu namun tidak mempertimbangkan kemungkinan pengaruhnya terhadap orang yang diajak bicara.

Berbicara adalah bagian dari dialog. Orang yang hanya gemar memerintah tanpa mempedulikan usulan orang lain dan umpan baliknya, maka yang terjadi adalah sebuah episode monolog. Sebuah karya digital tanpa memperhatikan umpan balik pada hakekatnya karya tersebut adalah sebuah produk monolog. Semangat monolog ini berbeda dengan isu digital dan produk perangkat lunak terkini yang menempatkan kekuatan komunitas sebagai platform. Salah satu ciri produk berbasis komunitas yaitu tersedianya ruang umpan-balik bagi konsumennya untuk berdialog. Ruang dialog terhadap produk digital bukanlah sekedar pelayanan Service-After-Sales, tetapi sejauhmana dialog komunitas tersebut mampu memperngaruhi rancang-bangun produk tersebut terhadap peningkatan kemampuan dan layanan teknologinya. Kekuatan daripada dialog komunitas adalah mengajak konsumen terlibat dan menumbuhkan rasa memiliki terhadap produk digital tersebut. Sejalan dengan waktu, rasa memiliki tersebut akan menumbuhkan semangat untuk melindungi memelihara dan bahkan menjaga dari berbagai gangguan kompetitornya.. Dialog komunitas mendorong seseorang untuk adaptif terhadap produk baru, bersemangat menemukan hal baru dan mengubah paradigma kompetitor menjadi mitra bisnis.

Dialog digital pada hakekatnya menempatkan konsumen sebagai partner bukan hanya sebagai relasi bisnis. Partnership mengandung makna kesulitan konsumen adalah juga kesulitan produsen. Sehingga hubungan dialogis produsen konsemen bukan hanya sebatas Service-After-Sales saja, tetapi bagaimana menempatkan konsumen sebagai mitra bisnis, dan bahwasanya konsumen diberdayakan dengan pemanfaatan produk digitalnya. Konsumen harus mendapat untung dengan pembelian produk tersebut, seandainya konsumen gagal mendapatkan nilai tambah dari produk digital yang dibelinya maka pada hakekatnya kegagalan produsen dalam upaya memelihara pasarnya. Hubungan dialogis Produsen Konsumen adalah hubungan saling memanusiakan, yang satu tidak boleh merugikan yang lain. Tidak heran akhir-akhir ini, banyak perusahaan besar mengusung isu partnership sebagai platform marketing digitalnya. Berbagai acara gathering ataupun   temu pelanggan diadakan, pakai hadiah handphone, netbook dan bahkan mobil sekalipun.


Perkembangan teknologi pertukaran informasi memasuki tahapan multimedia. Artinya, informasi bisa dipertukarkan dalam berbagai bentuk (teks, audio video) dengan berbagai cara, bisa melalui pertukaran file, chatting , streaming video dan bahkan melalui mekanisme aplikasi jejaring sosial. Informasi yang dipertukarkan tersebut menunjukkan sebuah proses dialog sudah dan sedang berlangsung. Sebuah dialog memerlukan komunikator dan komunikan. Baik komunikator dan komunikan bisa satu ke satu, satu ke banyak, banyak ke banyak. Bisa disini dan kesana tersebar , bisa juga dari sekumpulan komunitas ke seseorang yang tersendiri di ujung bumi. Sepanjang ada langit dan terkoneksi internet maka komunikasi bisa berlangsung. Tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana kita mendefinisikan informasi yang ingin dipertukarkan. Pada isi informasi tersebut sangatlah tergantung daripada situasi kondisi realitas dari si komunikator dan komunikan. Seandainya si komunikator dan komunikan dalam mode bisnis tentunya info yang dipertukarkan adalah info transaksi bisnis, jika sikon dalam mode seorang Ibu sedang menasehati anaknya yang sedang bersekolah nun jauh disana maka tentunya info tersebut sarat nasehat atau tangisan sekalipun. Dengan kata lain , keberhasilan komunikasi akan tergantung daripada bagaimana kita mendefinisikan subjek informasi yang hendak dipertukarkan barulah kita menentukan cara memodulasinya. Tidaklah tepat kalau informasi yang hendak dipertukarkan memerlukan video display agar ekspresi kesedihan seseorang mudah terlihat, tetapi memakai alat komunikasi berbasis teks. Sebaliknya , adanya sebuah surat formal untuk pemberitahuan jadwal lembur malah diadakan sebuah perangkat canggih berfasilitas video streaming. Sederhananya kesuksesan berkomunikasi adalah kesuksesan memilih alat dan cerdas mendefinisakan informasi yang hendak dipertukarkan.

Radio Talk Smart Digital yang berganti nama menjadi Smart Digital Life Style sedang mencoba memasuki ranah penulisan. Dialog suara menjadi dialog teks. Ide dan pikiran banyak tetapi sesungguhnya pekerjaan seorang pembicara tidak mudah berganti menjadi seorang penulis. Kalau membaca beberapa karya jurnalistik , terasa sekali tulisan-tulisan mereka mengalir dan berhasil mengajak pembaca ikut dalam alam ide pikiran si penulis.  Ambil contoh, beberapa pemenang Blog Award yang diinisiasi Internet Sehat – internetsehat.org , sipenulis dengan manis menceritakan ide dan pikiranya dengan pengalimatan yang sederhana dan bernas. Di salah satu blog yang saya sukai, psikologi.com banyak menceritakan persoalan kemanusiaan dan pengembangan diri yang pada hakekatnya berat tetapi dengan pengalimatan yang sederhana maka pembaca akan mudah memahami maksud si penulis.  Proses penulisan buku ini ternyata tidaklah mulus seperti dialog digital life style  yang ditekuni, disana-sini ternyata memerlukan berbagai referensi tambahan untuk memperkuat ide yang ada. Pengalaman baru ini turut memperkuat bahwa seorang penulis memerlukan pendalaman memadai terhadap ide yang hendak dituangkannya. Hasil tulisan bisa dibaca lagi dan bahkan dikoreksi, tetapi hasil pembicaraan sulit didapatkan lagi persis sama dengan aslinya kalau tidak melalui mekanisme perekaman. Memproduksi informasi berbentuk teks adalah berkomunikasi dengan  pikiran penulis. Dialog yang dilakukan adalah dialog penulis dengan pembaca. Pembaca yang mungkin juga sebagai pendengar setia diajak berdialog terhadap ide dan bahan yang pernah dibicarakan di jadwal rutin senin sore, agar informasi bisa diperdalam ataupun diperlengkapi oleh sidang pembaca. Inilah salah satu bentuk dialog digital.

1 komentar:

  1. Media pemebelajaran berbasis digital Dialog sungguh sangat menarik. Digital Dialog dapat menjelaskan bagaimana menjadi pembicara yang baik dan efisien serta begaimana Interaksi Manusia dengan Perkembangan teknologi melalui pertukaran informasi multi media, sehingga merupakan media perluasan di era teknologi informasi saat ini...

    BalasHapus