Sabtu, 25 September 2010

Bisnis Digital = Bisnis Perasaan

BISNIS DIGITAL = BISNIS PERASAAN


Sederhananya, berbisnis adalah berusaha menghasilkan keuntungan. Sehingga bisns digital dapat diartikan sebagai suatu kegiatan usaha yang menggunakan teknologi informasi dan komputer untuk menghasilkan keuntungan. Kegiatan bisnis digital dapat meliputi bidang produksi , distribusi dan retail informasi. Saat ini, cakupan bisnis digital  meluas sampai dengan isu keamanan dan kenyamanan informasi. Bukan hanya sampai disitu, cakupan malah sampai dengan bagaimana mengelaborasi perasaan menjadi ladang bisnis digital, contoh hasil sadapan telpon antara jaksa tersuap dan penyuap menjadi nada panggil yang bernilai, atau bagaimana maraknya penjualan produk digital modern yang mengelaborasi keinginan seseorang untuk memenuhi kebutuhan gaya hidupnya yang mudah berganti dan cepat usang. Life-Cycle handphone dan perangkat netbook yang  cepat sekali berganti mode dan tampilan sekalian dengan harga yang semakin variatif dan relatif murah dengan mekanisme pembelian kredit sekalipun. Perilaku calon konsumen terelaborasi oleh bisnis digital.

Teks lain, bisnis digital didefinisikan sebagai “aktivitas yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan proses pertukaran barang dan/atau jasa dengan memanfaatkan internet sebagai medium komunikasi dan transaksi”.  Jika dahulu transaksi bisnis yang harus dilakukan secara tatap muka, melibatkan sejumlah fasilitas dan sumber daya fisik, dan mempertukarkan barang dan jasa terkait dengan uang kertas atau receh; maka pada saat ini transaksi serupa dapat dilakukan oleh siapa saja dan dari mana saja secara fleksibel, dilakukan dengan menggunakan peralatan elektronik (komputer, personal digital assistant, dsb.) dan internet, dimana proses pembayaran dilakukan melalui mekanisme transfer rekening, credit card, digital-money, dsb.

Dua hal penting yang harus dimiliki dalam upaya implementasi bisnis digital adalah kemauan dan kemampuan. “Kemauan” artinya adanya keinginan, inisiatif, komitmen, dan dukungan dari segenap pemangku kepentingan mengimplementasikan bisnis digital di institusi yang dikelolanya. Mengapa aspek “kemauan” tersebut diperlukan karena sering kali inisiatif penerapan prinsip bisnis digital memerlukan paradigma dan pandangan baru terhadap bagaimana cara mengelola bisnis. Bahkan tidak jarang ditemukan proyek penerapan digital-bisnis yang dilakukan secara simultan dengan program manajemen perubahan (change management). “Kemampuan” berarti perusahaan memiliki sumber daya yang cukup untuk mewujudkan “kemauan” tersebut, seperti: sumber daya manusia dengan kompetensi dan keahlian yang dibutuhkan, dukungan finansial yang memadai, keberadaan fasilitas teknologi informasi terkait (aplikasi, database, komputer, internet, dan infrastruktur), dan kerjasama kondusif dengan berbagai mitra bisnis.

“Kemauan” disisi lain mengandung makna humanis yang bersinggungan dengan perasaan pelaku bisnisnya. Ambil contoh, banyak kali didapati strategi penjualan produk perangkat lunak bermotif cuma-cuma, sering berlabel student-edition dan tentunya sipemakai akan terbiasa dengan lingkungan perangkat lunak tersebut sehingga pada akhirnya akan selalu berharap lingkungan kerjanya nanti memakai produk yang menyerupai student edition tersebut.  Strategi marketing modern juga menggunakan jasa internet sebagai alat menjaring konsumen dengan cara memberikan kemudahan akses dan gratis semata untuk menjadikan produknya sebagai bagian daripada kebiasaan dan perilaku keseharian, sehingga pada waktunya nanti pemilik produk tersebut akan menagih jasa terhadap pemakaian produk IT tersebut dan pada saatnya konsumen tidak bisa mengelak. Strategi inipun bisa dilihat dalam banyak produk perangkat lunak, awalnya gratis sesudah sekian waktu tidak bisa diakses dan harus menghubungi point reseller resmi. Sejatinya perasaan dan perilaku telah terjebak dalam strategi bisnis pemasaran modern. Menjual produk IT adalah menjual atau membeli perasaan. Perasaan dan Kemauan sebagai perilaku  manusia normal telah  dielaborasi menjadi kebutuhan semu dan akhirnya menjadi objek pemasaran.

Barusan dalam sebuah acara infotainment, seorang Artis meminta maaf kepada penonton karena kasus video pornonya yang telah tersebar meluas di internet. Permintaan maafnya sangat menggugah dan emosional, apalagi sang suami pun turut terlibat dalam suasana keharuan tersebut.  Acara infotainment yang padat muatan perasaan dan emosional cepat beredar di internet dan  terindikasi dengan lalu-lintas akses terhadap situs tersebut naik dan pada akhirnya menguntungkan penyedia situs dan jasa koneksi internet yang dipakainya. Entahlah kemudian tangisan Cut Tari dalam persoalan pornografi yang mengharu-biru tersebut akan menjadi nada panggil juga. Perasaan telah terbisniskan oleh perangkat digital. Bisnis digital adalah bisnis perasaan.

Diawal tahun 2010, saya sempat mengangkat ungkapan bisnis perasaan dalam dialog awal tahun , setalah menonton Sang pemimpi dan Avatar di Studio 21 Mantoz. Perasaan terelaborasi oleh gambar dan mimpi-mimpi di film tersebut. Sesungguhnya manusia memerlupan mimpi untuk mengobati perasaan yang terkungkung oleh isu-isu lokal konsumerisme dan pencitraan berlebihan para calon peserta Pilkada. Kedua film tersebut berhasil mendorong perasaan ini untuk tidak serta merta menyerah tetapi mendorong perasaan ini agar`selalu memperbaharui semangat bahwa penguasaan teknologi animasi digital modern bisa menjadi ladang bisnis perasaan yang menjanjikan. Penguasaan ketrampilan animasi dan grafika ditambah dengan disain cerita yang berkualitas akan menjadikan suatu mimpi menjadi ladang bisnis modern. Marilah bermimpi! Dan ternyata bukan hanya perasaan yang dibisniskan tetapi mimpipun telah menjadi sebuah entitas bisnis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar